“Hari ini kau harus mencari teman yang banyak, Dis. Ingat itu,” pesan Ibu padaku. Oh tentu saja. Dengan gelar sebagai anak baru, aku memang perlu mencari teman. Beradaptasi memang tidak mudah, tetapi lebih menyengsarakan lagi bersekolah tanpa seorang teman pun.
Kemudian Ibu mencium keningku
seperti biasa, “Sampaikan salam Ibu pada gurumu yang tampan itu. Oke, Dis?”
sambil beranjak dari jok mobil ku anggukan kepalaku setengah hati. Ia
membicarakan tentang Mr. Joe. Nah, itu tidak penting sekarang.
“Hei! Umm, apa kalian tahu dimana
kelas seni?” tanyaku pada tiga siswi yang sedang berbicara dengan santai.
Mereka menatapku aneh, memandangi penampilanku dari ujung kaki sampai ujung
rambut. Kenapa semua melakukan hal itu terhadapku setiap berpindah sekolah?
“Kamu anak baru di sini?” tanya si
blonde dengan pakaian amat nyentrik. Aku mengangguk. Gantian yang bertanya si sipit kulit putih ini, “Kamu bukan
orang China kan?” aku mengangguk lagi.
Si gadis dengan rambut merah di
sebelah si blonde menawarkan diri untuk mengantarku ke sana. Ah, akhirnya.
“Ikut dengan kami. Sepertinya, kau butuh tour guide untuk mengetahui tata letak
sekolah ini,” aku tersenyum senang.
Ketiga siswi ini sepertinya anak
populer, sudah kentara sekali karena ketika kami berjalan melewati lorong penuh
siswa-siswi semua memberikan jalan seolah-olah mereka lah penguasanya, atau
karena mereka melihatku berjalan sama anak populer ini? Entahlah, yang jelas si
blonde ini bernama Anastasya, si sipit bernama Yuei dan si rambut merah bernama
Lolita. Jika mereka anak populer di sini, maka mereka merupakan anak populer
yang cukup menyenangkan. Ternyata kami berempat satu kelas dan mereka bertiga
sangat berbakat dalam bidang seni.
“Jadi, namamu Gen...Gen siapa?”
tanya Ana padaku dengan wajah antusias.
“Gendis,” jawabku tersenyum senang.
Kami sedang berjalan menuju kantin untuk makan siang.
“Di kelas kamu berkata kamu pindahan
dari Indonesia, berarti kamu tinggal di Bali dong?” tanya Lolita. Aku terkekeh sebentar. “Lolita, kamu salah
persepsi. Bali itu salah satu pulau di Indonesia, bukan sebaliknya,” jawabku.
“Ooh, lantas kenapa kamu ke sini?
Aku dengar Indonesia itu negara yang sangat indah. Kenapa kamu pindah ke sini?”
“Ayahku sedang tugas di sini. Oh
iya, terima kasih ya kalian mau menerimaku untuk bergabung. Biasanya butuh tiga
hari aku mendapatkan teman yang menerimaku dengan benar-benar. Kalian sangat
ramah,” ujarku tulus. Ya, percaya atau tidak setelah berpindah-pindah sekolah
aku dapat membandingkan dan menilai karakter orang-orang baru. Menyenangkan. Ketiganya
terdiam. Kemudian Yuei mengajak kami untuk duduk di bangku tengah kantin.
“Kamu tidak mengambil makananmu,
Dis?” tanya Yuei. Aku menggeleng, dan menunjukkan bekalku pada mereka.
Ketiganya terdiam lagi. Ketika aku hendak mengambil saus tomat, seseorang
dengan badan sekurus tiang menabrakku sehingga bajuku terkena saus tomat.
Untunglah, aku memakai baju merah jadi nodanya dapat tersamar. Anastasya
tiba-tiba datang dan menarik kerah baju anak yang menabrakku dan memarahinya
dengan amat sangat. Oh, kenapa ia bersikap....begini?
“Apa kau tidak melihat? Heh dungu!
Kau dengar tidak? Selain bisu, kau tuli juga ya? Hah?!” teriak Ana murka. Aku
menghentikan tindakannya dan membela
gadis berbadan kecil itu.
“Sudah, Ana. Tidak apa-apa. Aku
baik-baik saja. Ayo makan,” ajakku menarik lengan Ana dan pergi menjauhi gadis
tadi. Ia tertunduk lesu. Oh, aku tidak dapat melihat wajahnya dengan jelas
karena tertutup oleh rambutnya yang panjang. Apa... aku baru saja menghentikan
sebuah aksi bullying? ....
Kami duduk berempat lagi dan
menikmati makanan di hadapan kami. Semua terlihat lahap, kecuali aku yang masih
memikirkan gadis ringkih tadi.
“Siapa gadis tadi?” tanyaku pelan.
Jika aku baru saja menghentikan aksi bullying, berarti aku sedang berada dalam
kelompok pembully. Aku pernah membaca tentang ini sebelumnya, bahwa di Amerika
bullying banyak terjadi pada siswi.
“Yang menabrakmu? Ia adalah si Aneh
Betty. Selain aneh, ia tidak mencoba untuk beradaptasi. Dari kabar yang kami
dengar, ia adalah anak seorang penyihir. Maka dari itu kami menjauh dan ia juga
tidak pernah mencoba untuk mendekat,” jelas Yuei. Aku bengong. Betty yang
malang..
Dua hari selanjutnya, aku coba untuk
mendekati Betty. Awalnya, ia menghindar namun akhirnya kami dapat berbicara
saat istirahat. Rupanya ia anak yang juga senang membawa bekal.
“Hai. Aku Gendis, kamu Betty kan?”
aku mengulurkan tanganku hendak menjabatnya dan dengan ragu ia membalas jabatan
tanganku. Ah, leganya. Sekarang buat topik! “Bukan hal yang burukkan untuk
berteman denganmu?” ia terkesiap, mungkin tersinggung atau entahlah, sulit
sekali membaca ekspresinya. Aku tertawa, “hanya bercanda,”
Betty merupakan teman yang baik.
Walaupun sejak awal kami berteman sampai kini dua bulan ini ia tidak pernah
membuka mulutnya kecuali untuk tertawa, itu pun tanpa suara. Ia sebenarnya
adalah gadis yang cantik, parasnya indah, rambutnya lurus sepunggung dan
pipinya tirus. Kami sering ke perpustakaan untuk membaca buku bersama. Ia
sangat menyukai dongeng, sama sepertiku. Dan matanya selalu berbinar kagum
setiap kali ku ceritakan dongeng Indonesia. Apa? Ana, Loli, dan Yuei? Aku tidak
berpisah dengan mereka. Mereka tetap baik denganku, hanya saja waktu berkumpul
dengan mereka menjadi berkurang karena aku pun harus bermain dengan Betty.
Sampai suatu saat ketika hendak mencuci tangan di toilet ku dengar suara
mereka.
“Aku bersumpah, Ana. Aku melihatnya
berteman dengan si Aneh Betty. Mereka sering ke perpustakaan bersama!”
“Lagipula, sejak awal bertemu
dengannya bukankah kau berpendapat bahwa Gendis pun aneh? Kulitnya coklat tidak
jelas, matanya bulat besar, dan rambutnya terlalu hitam. Dan apa kau sadar?
Logat berbicaranya aneh!” Aku menahan nafas sesak. Suara itu... Yuei dan
Lolita? Yang benar saja mereka. Tega sekali..
“Entahlah. Sejak bertemu dengan
Gendis, wlau ia tidak secantik kita, tapi aku melihat bahwa...,”
“Bahwa apa, Ana? Kau berjanji tidak
akan pernah bergaul dengan siapapun yang berteman dengan Betty, tapi ada apa
dengan Gendis? Apa yang begitu istimewa dengannya?” terdengar helaan nafas
dalam. “Jawab, Ana! Jawab!
“...ia adalah potensi! Kau dengar?
Ia adalah potensi. Ia memiliki bakat yang unik dalam kelas seni, dan bila prom
nanti ia tampil. Mungkin saja ia menyebut nama kita sebagai temannya dengan
begitu popularitas kita dapat melambung lebih tinggi. Kau dengar, Lolita?!”
teriak Ana terdengar frustasi, kemudian langkahnya mendekati keberadaanku. Mata
Ana langsung terpaku padaku, aku menatapnya nanar. Ternyata kebaikan mereka
selama ini padaku adalah palsu.
“Gendis...,” tak kudengar lagi
kelanjutan kalimatnya karena aku berpaling dan meninggalkan orang yang hanya
memanfaatkanku, sendiri.
Sudah tiga hari aku tidak melihat
Betty. Rasanya hari-hariku benar-benar suram. Jangan-jangan ini adalah
kehidupan yang selama ini Betty jalani. Heran, kenapa ia bertahan dengan
kondisi mengenaskan seperti itu, selama ini sebelum bertemu denganku?
Tiba-tiba
sekolah dihebohkan dengan penemuan mayat siswi di atap sekolah yang pada
tangannya terdapat luka cakaran yang sangat banyak. Astaga.. kalian akan sangat
terkejut jika melihat wajahnya yang mengerikan, matanya membelalak hebat
seperti telah dirasuki sesuatu. Betty, oh Betty dimana ia? Sehari kemudian
pertanyaanku terjawab, Betty berada di bawah tangga dengan empat anak tim
pemandu sorak sedang mengomelinya.
“Kau berbuat apa, Aneh? Sihir macam
apa yang kau gunakan pada Daisy?! Dasar, penyihir! Gadis tidak waras! Kau
tuli?! Kau bisu?! Jangan-jangan kau juga buta, HAH?!” salah satu anak itu
kemudian mengangkat tangannya hendak menampar Betty yang malang.
“BERHENTIIII!”
teriakku keras, lalu ku jemput Betty dan membawanya kabur dari anak-anak
mengerikan tadi. Kami tiba di perpustakaan, tatapan matanya kosong, namun jelas
dari aura wajahnya terdapat wajah sedih yang amat dalam. “Kau tunggu di sini,
ku ambilkan minum,”
Esoknya,
ditemukan kembali mayat empat mayat siswi pemandu sorak dengan luka gunting di
banyak bagian tubuh mereka. Wajahnya persis seperti mayat di atap sekolah.
Sehari kemudian mayat ditemukan lagi dengan wajah yang sama. Sebulan sudah ada
sekitar 6 kasus penemuan mayat. Dan saat itu aku merasa ada yang aneh pada diri
Betty, ia terlihat lebih bahagia dan tertawa walau tanpa suara namun jelas pada
wajahnya tergambar kebahagiaan yang besar. maka aku pergi menjauh darinya. Sudah
empat minggu aku menjauh dari Betty, dan saat itu pula Ana meminta maaf padaku.
Aku tidak peduli apapun tentang mereka sekarang. Dan pada hari itu pula,
kulihat mereka membully Betty. Saat yang sama, Betty melihatku menjauh. Matanya
sedih sekali. Maafkan aku, Betty.
Hari
ini praktik berenang. Aku bisa menjauh dari keduanya. Setelah setengah jam
berenang, tiba-tiba awan menjadi gelap dan aku lihat Betty yang ternyata duduk
di atas tangga sambil melamun. Kemudian suara menggelegar datang, dan petir menyambar
kolam serta semua yang ada di dalamnya. Termasuk aku. Pandanganku kabur, namun
kulihat Betty berdiri di tepi kolam sambil memandangku sinis. Dan semuanya
menjadi gelap.
---
Sayup-sayup
terdengar suara Mr. Joe, “Gendis amat beruntung, Nyonya. Semua yang di kolam
tewas tersengat seketika namun Gendis bertahan,” lalu hening melanda
seterusnya.
Tiba-tiba masuk seseorang yang bergumam dengan aneh dan cepat, “Ia temanmu, Betty! Sadar!” suasana hening kemudian. “Bukan! Ia membiarkanmu tersiksa! Ia bukan temanmu! Gendis bukan temanmu!” ia adalah satu suara yang sama.
“Be....Betty?” panggilku pelan. Betty menghampiriku dengan wajah yang sangat aneh, ia tidak secantik biasanya. Ia...mengerikan. Samar kulihat ia membawa sesuatu pada tangannya. Apa itu? Jarum suntik?
“Gendis,” Betty berbisik-bisik aneh pada dirinya sendiri. “Gendis temanku,” wajahnya sedih, kemudian ekspresinya berubah menjadi gila. Matanya membelalak aneh, terdapat kerutan di wajahnya. Ia bukan temanmu, Betty sebuah suara terdengar olehku dan mungkin juga oleh Betty karena saat ini Betty sudah tak lagi menampakkan wajah murungnya.
“...tapi Gendis mencampakkanku!” kemudian semuanya gelap.
0 Comments